22 Nov 2010

Menulis: Sebuah Beban Sejarah


Seorang dosen di kampus pernah berkata, ”Bangsa China adalah bangsa yang besar, mereka dapat merunut sejarah bangsa mereka sampai lima ribu tahun ke belakang dengan dokumen-dokumen yang berbentuk tulisan.” Kemudian ditambahkan, ”Dengan itu mereka dapat berdiri tegak dan menunjukkan diri sebagai bangsa yang sudah beradab sejak dahulu kala.” Sampai saat ini bangsa China masih dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena sumber-sumber tulisan yang mereka miliki.
Lalu apa yang terjadi dengan Indonesia? Gubernur Jenderal Raffles pernah berkata bahwa tidak ada orang yang lebih mengerti tentang Jawa daripada dirinya. Ya, dia mengerti tentang Jawa karena dia memiliki dokumen-dokumen yang sangat lengkap tentang pulau ini—yang pada masa penjajahan menjadi pusat pemerintahan kolonial. Dokumen-dokumen asli bangsa kita, yang menjelaskan tentang keadaan bangsa ini, seluk beluk kehidupan masyarakat Indonesia masa dulu, kearifan-kearifan lokal masyarakat kita, sudah habis dibawa oleh penjajah ke tempat asalnya. Alhasil, kita ingin belajar tentang sejarah Indonesia yang lengkap kita harus mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Belanda.
Bung Karno pernah menyebutkan “Jas Merah” dengan lantang. Kata itu merupakan singkatan dari “JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH”. Kemudian timbul pertanyaan, Bagaimana caranya melupakan sejarah, bahkan mengenalnya pun tidak? Mungkin sangat sedikit bahan sejarah tentang Indonesia yang luas dan kompleks dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang enam jilid itu. Ya, masih kalah pastinya dengan sejarah China yang mereka bisa susun selama lima ribu tahun itu.
Kita tidak dapat memungkiri bagaimana besarnya pengaruh tulisan dalam kehidupan. Hampir semua pemberontakan-pemberontakan besar di dunia terjadi karena sang pemimpin mencekoki mereka dengan tulisan-tulisan, filsuf-filsuf besar dunia masih dikenal juga karena ada sumber tulisan dari buah pemikiran mereka, dan agama-agama besar di dunia masih bertahan sampai saat ini juga karena adanya sumber tulisan yang menjadi acuan berbakti bagi para pengikutnya.
Sudah seharusnya dan sepatutnya kita yang hidup di dan dari sumber daya—baik alam maupun manusia—Indonesia  menuliskan sejarah perjalanan bangsa ini. Menjadi tanggung jawab bagi generasi yang dahulu untuk menceritakan sejarah kepada generasi sekarang, generasi sekarang ke generasi yang akan datang, dan seterusnya. Ya, kita sendiri yang harus menuliskannya. Kita akan dapat membangun bangsa ini dengan mengetahui dan mengerti tentang bangsa ini. Generasi setelah kita memerlukan banyak data-data, dokumen-dokumen yang bisa menjadi pelajaran bagi mereka, dan itu harus datangnya dari tulisan-tulisan yang kita buat.

*Tulisan buat kelas menulis Bang Samuel Tumanggor..

Media dan Korupsi


Belum lama ini kita dihebohkan oleh pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik mengenai kasus Bank Century. Salah satu media nasional bahkan menjadikan kasus ini menjadi headline dalam majalah mingguannya selama sebulan. Apa yang sedang terjadi? Mengapa berita ini bisa heboh dan menjadi pembicaraan dimana-mana? Hampir semua perhatian masyarakat terpusat pada kasus ini. Dimulai dari terbongkarnya kasus percakapan Anggodo dan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan, kriminalisasi terhadap dua pimpinan anggota KPK, sampai yang terbaru dikeluarkannya buku Membongkar Gurita Cikeas oleh George J Aditjondro.

Peran Media
Korupsi memang sudah merajalela di Indonesia. Hampir semua lembaga pengakaji korupsi baik lokal maupun internasional memberikan hasil survei yang kurang mengenakan bagi Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia selalu ditempatkan di urutan 10 besar negara-negara terkorup. Namun, kalau kita jeli melihat, gembar-gembor terhadap isu korupsi ini mulai menguak dan terdengar keras setelah masa orde baru. Pemerintahan otoriter orde baru pada saat itu membuat media kehilangan fungsinya dalam meberikan informasi bagi masyarakat, padahal kalau kita perhatikan korupsi pada masa orde baru begitu hebatnya namun hanya terdengar sayup-sayup di masyarakat.
Media mengambil peran yang sangat besar dalam hal ini. Media menjadi corong dalam menggiring dan membentuk opini publik. Kebebasan yang sudah dirasakan media saat ini memberikan mereka kekuatan untuk memberitakan secara lengkap, jujur, adil dan akurat mengenai korupsi di Indonesia. Ketakutan akan dilakukan pembredelan oleh pemerintah bukan menjadi ancaman lagi bagi media dalam melakukan pemberitaan korupsi.
Dalam memerangi korupsi, sekurang-kurangnya media mempunyai 4 fungsi yang harus dijalankan. Fungsi-fungsi tersebut adalah penyampaikan dan penyebaran informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan penetapan agenda (agenda setting).
Pertama, media mempunyai fungsi untuk menyampaikan dan menyebarkan informasi. Fungsi ini mengharuskan media memberikan informasi yang akurat dan jujur kepada masyarakat. Kita melihat kenapa pada masa orde baru tidak genjar dilakukan pemberantasan korupsi, karena saat itu media tidak memberitakan informasi yang akurat dan jujur kepada masyarakat. Salah satu informasi yang jarang didapat masyarakat yang bisa menjadi corong korupsi adalah mengenai anggaran. Ketidaktahuan masyarakat mengenai anggaran bisa menjadi celah bagi pihak yang terkait malakukan korupsi.
Kedua, fungsi pendidikan. Lebih dari memberikan informasi, media mempunyai fungsi pendidikan. ”Journalistic media are more than purveyors of news and comments; they are agencies having policies of their own, responsibilities of far reaching importance, and worthy missions of great significance” (George F Mott, 1958). Dalam hal ini media dapat menjadi pilar dalam memberikan pendidikan anti korupsi kepada masyarakat. Sosialisasi terhadap bentuk-bentuk korupsi, pencegahannya, dan apa akibat dari melakukan korupsi perlu diberitahukan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak hanya tahu bahwa sudah terjadi korupsi, namun mereka dapat mengetahui bagaimana cara mencegahnya dan apa akibat yang terjadi apabila mereka melakukan korupsi.
Ketiga, media mempunyai fungsi kontrol sosial. Media sering dikatakan sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Setelah adanya eksekutif, legislatif, dan yudikatif, perlu ada unsur keempat yaitu media/pers. Media menjadi kontrol bagi ketiga institusi ini. Banyaknya kasus yang menyeret pejabat publik, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak terlepas dari pemberitaan media yang mengekspos kasus tersebut. Dari pengeksposan kasus tersebut, juga diharapkan muncul efek jera bagi para pejabat yang melakukan korupsi. Penyebutan nama dan penampangan foto oleh media dapat membuat efek malu pada pelaku korupsi.
Keempat, fungsi agenda setting. Korupsi tidak akan dapat menyeruak keluar jika tidak dberitakan, oleh karena itu media dapat berfungsi untuk membuat sebuah agenda setting dalam pemberitaan korupsi. Isu-isu korupsi menjadi prioritas utama media dalam pemberitaannya. Hal ini memberikan dampak bagi masyarakat bahwa isu korupsi adalah sebuah berita yang penting.

Media Kampus
Kasus korupsi juga menyentuh dunia pendidikan, tidak terkecuali kampus. Kita masih ingat kasus korupsi yang dilakukan oleh petinggi kampus ini tahun 1998, yang menyeret sang rektor ke meja pengadilan. Penguakan kasus tersebut tidak terlepas dari peran media kampus saat itu yang merespon situasi yang terjadi dan kemudian melakukan pelaporan investigasi (investigation reporting).
Seringkali media nasional tidak dapat menjangkau isu-isu yang ada di sekitaran kampus, oleh karena itu media kampus memiliki peranan yang besar dalam memberitakan dan mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilakukan kampus. Walaupun secara nominal mungkin tidak lebih besar dari yang dilakukan pejabat, seperti pungutan-pungutan yang tidak punya landasan hukum, namun seperti pepatah yang mengatakan sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Hujan yang besar juga tercipta dari titik-titik uap air, oleh karena itu kalau tidak dicegah dari sekarang budaya korupsi akan terus merajalela di kampus dan merambat sampai keluar kampus.
Saat ini juga kampus kita sedang giat-giatnya melakukan pembangunan. Banyak fasilitas dengan dana besar sedang dibangun. Dan apabila kita tidak melakukan kontrol, bukan tidak mungkin korupsi akan mengintip dan memangsa moral para pemimpin kita. 

*Tulisan ini mendapat juara ke 3 dalam lomba esai FISIP Fair UNPAD dalam rangka memperingati 12 tahun reformasi Indonesia dan dimuat di Majalah FISIPers

14 Apr 2010

Etika Kerja Protestan, Kapitalisme, dan Korupsi


Kapitalisme adalah paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Di Indonesia, kapitalisme ini dipandang sebagai sebuah paham yang dibawa oleh kalangan Barat. Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat di Indonesia dianggap sebagai manifestasi atau bentuk praktis dari kapitalisme.
Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism (1904), menjabarkan bahwa kapitalisme berawal dari sebuah etika kerja yang disebut Etika Kerja Protestan (Protestant Ethics). Dimulai dari pertanyaan mengapa paham modal (capitalism) dan perasionalan produksi ekonomi –yang menyebabkan suatu bangsa menjadi makmur dan maju- tidak timbul di dunia Timur, tetapi di dunia Barat? Setelah diteliti akhirnya Weber menyimpulkan bahwa paham kapitalisme itu berasal dari sebuah ajaran Protestan yang dihembuskan oleh Martin Luther dan dikonsepkan oleh Johanes Calvin.
Calvin mengajarkan bahwa takdir keselamatan adalah berdasarkan pemilihan –suatu keadaan yang tidak dapat diketahui manusia dengan pasti tetapi dapat diisyaratkan oleh kesuksesan dunia. Lebih jauh, para penganut ajaran Protestan mengatakan bahwa hal ini merupakan sebuah keyakinan akan pengendalian alam secara rasional, keikutsertaan yang aktif dalam masyarakat, serta kerja keras, penghematan, disiplin, perbaikan diri, dan tanggung jawab secara pribadi. Dapat disimpulkan bahwa ajaran ini mengajarkan manusia untuk bekerja sekeras-kerasnya di dunia karena keselamatan telah ditentukan oleh Tuhan.
Landasan terhadap ajaran ini bermuara pada Injil (Bible). Dalam Injil dikatakan bahwa ”Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23). Nah, ajaran ini kemudian diadopsi oleh bangsa Barat sehingga tidak dapat dipungkiri mereka menjadi bangsa yang paling maju dan makmur saat ini.
Dilihat dari pengalaman masa lalu, sebelum abad ke-16 bangsa Barat merupakan bangsa yang tidak dianggap. Peradaban bangsa China dan Arab dilihat sebagai peradaban yang lebih maju dari Barat. Namun kemudian kita melihat peristiwa besar abad ke-16 yaitu penamampangan 95 dalil oleh Marthin Luther di Wittenberg, yang menandai kelahiran gerakan Protestan. Setelah masa itu, muncullah masa-masa kebangkitan Barat, dimulai dari Rennaissance hingga masa pencerahan, dari revolusi saintifik sampai revolusi industri. 
Namun saat ini kita melihat gelagat bangsa Barat yang berbalik dari ajaran ini. Dimulai dari penjajahan yang dilakukan dengan kekuataannya di banyak negara. Setelah masa penjajahan itu berakhirpun, saat ini mereka masih juga memakai kekuasaan mereka untuk menjajah negara lain. Paham kapitalisme dianggap sebagai paham yang keji karena mencitrakan penindasan kaum borjuis terhadap kaum proletar –yang kemudian kita kenal sebagai kritikan Karl Marx terhadap kapitalisme.
Indonesia sendiri menjadi bangsa yang vokal untuk menentang kapitalisme. Kepahitan pada masa penjajahan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang anti-Barat, dapat kemudian diartikan sebagai anti-kapitalisme. Namun, ironi yang terjadi di Indonesia adalah, sampai saat ini kita belum bisa menandingi bangsa Barat dalam kemajuannya, baik dalam teknologi, disiplin maupun kualitas kerja. Kita kemudian tidak adil untuk menyalahkan bangsa Barat yang menjajah kita yang menyebabkan keterpurukan di Indonesia. Mochtar Lubis pada tahun 1977 menggambarkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak hemat, tidak suka bekerja keras, ingin kaya dengan cara yang cepat tanpa mau berusaha dengan keras. Ini terlihat dari gemarnya manusia Indonesia untuk menjadi pegawai negeri, bukan untuk mengabdi tetapi untuk mencari lahan ”basah” sehingga bisa menghasilkan uang dalam waktu yang cepat.
Tahun 2005, ada sebuah tulisan di Harian Kompas oleh Dedi Muhtadi, dia mengatakan bahwa ”Dalam gambaran besar, bangsa ini dijuluki bangsa yang berperilaku tidak menghargai proses, tidak suka kerja keras, tetapi ingin serba instan. Manusia Indonesia umumnya bermimpi hidup senang, hidup enak, tanpa bekerja. Gambaran hidup senang adalah banyak uang. Dan bagaimana menciptakan harta banyak tanpa kerja ya, melalui korupsi.” Ditambahkan oleh Cecep Darmawan dalam Harian Pikiran Rakyat tahun 2006, ”Perlu diakui, menjadi PNS yang jujur akan sulit untuk menjadi kaya...dilingkugan PNS masih lekat istilah jabatan ”basah” maupun jabatan ”kering.” Jabatan basah diartikan sebagai jabatan yang dapat mengahasilkn proyek yang banyak sehingga bisa menghasilkan pendapatan diluar gaji. Beberapa pendapatan itu memang legal, tapi bukan tidak banyak pula yang ilegal dan berindikasi korupsi.”
Kita tidak dapat memungkiri hal ini. Ditengah cercaan terhadap bangsa Barat yang dengan teknologi dan kerja kerasnya –walaupun dapat dibilang kotor, mereka dapat maju dan menguasai dunia. Berbeda dengan kita, bahkan kita melihat tidak ada perbedaan yang berarti dalam tulisan Mochtar Lubis (tahun 1977) dan Dedi (2005) serta Cecep (2006) tentang manusia Indonesia. Manusia Indonesia dikenal sebagai bangsa malas namun ingin punya banyak duit dan cepat kaya, dan cara yang paling ampuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan Korupsi.
Gambaran bangsa Barat yang melenceng saat sekarang ini dilihat sebagai penyimpangan mereka terhadap prinsip dasar Calvin dalam memandang harta. Seorang sarjana Protestan Barat mengemukakan dalam The Encyclopedia Americana Volume 5, “Falsafah ekonomi kaun Calvin bukanlah falsafah cari laba, melainkan falsafah pelayanan –dalam kata-kata Calvin, ”untuk melayani sesama kita dengan hati nurani yang baik.” Dengan berhemat dan membatasi pengeluaran, kaum Calvin telah memperoleh kekayaan. Jika kemudian mereka menyerah kepada pencobaan untuk menggunakan kekayaan itu untuk mencari laba dan kesenangan yang sia-sia, maka hal itu adalah penduniawian, bahkan pemutarbalikan ajaran Calvin.” Dari penuturan diatas kita dapat melihat bahwa bangsa Barat telah salah mengartikan modal dalam prinsip dasar kapitalisme.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki nilai luhur yang sudah sangat sering kita dengar. ”Rajin Pangkal Kaya”. Kita melihat bahwa nenek moyang kita juga sebelumnya sudah menyadari bahwa kerajinan itu akan berpangkal pada kekayaan. Namun indikasi akan kerajinan itu sendiri terlihat sangat rendah di Indonesia. Tingkat pengangguran yang tinggi diikuti tingkat korupsi yang tinggi pula –dua keadaan yang berpangkal pada kemalasan. Cermin yang seperti ini tidak seharusnya menjadi acuan untuk kita kemudian mencerca sebuah ide mulia tentang disiplin dan kerja keras. Namun ada baiknya untuk kita mengerjakan petuah nenek moyang kita sehingga pada akhirnya kita dapat mengangkat kepala dan bersaing dengan bangsa Barat.
Menurut saya tidak tertutup kemungkinan untuk kita mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan Calvin dalam memompa semangat kerja bangsa Indonesia. Jepang contohnya, walaupun bukan bangsa yang mayoritas Protestan mereka dapat menjadi bangsa yang maju dengan belajar kepada bangsa Barat dan menurut saya kepada ajaran Calvin. Setelah melewati masa kegelapan dan munculnya Restorasi Meiji, Jepang kemudian membuka diri dan belajar dari bangsa Barat, mereka belajar tentang kekuatan militer darat dari Jerman, kekuatan militer laut dari Inggris dan kekuatan militer udara dari AS (tiga negara yang kental dengan ajaran Protestan), sehingga pada masa Perang Dunia mereka menjadi salah satu negara yang ditakuti. Setelah masa perang dunia, Jepang porak-poranda akibat kekalahan yang mereka alami, namun kita melihat kebangkitan Jepang dan sekarang dapat disebut sebagai punggawa ekonomi Asia. Ini juga tidak terlepas dari belajar dari bangsa Barat akan hal ekonomi. 
Dan hal yang paling dapat dicontoh dari Jepang adalah mereka tetap menjungjung tinggi budaya mereka yang sudah ribuan tahun. Memakai sumpit sewaktu makan, masih menggunakan kimono, masih memandang tinggi keluarga. Mereka tidak terkontaminasi budaya Barat walaupun mereka belajar dari sana. Tidak dapat dimungkiri Jepang juga merupakan negara yang membuat kapitalisme sebagai landasan ekonominya dan mereka maju. Kapitalisme yang mengajarkan tentang pengembangan diri secara pribadi sehingga menghasilkan kualitas manusia yang baik dianggap sebagai pijakan dalam membangun Jepang.
Saya juga tidak menganjurkan untuk Indonesia meniru Barat atau Jepang dalam menjalankan kapitalismenya –apalagi Barat. Karena saya juga beranggapan bahwa Indonesia sendiri mempunyai cara yang baik dalam menjalankan kapitalismenya. Bukan tidak mungkin kita menjadi bangsa yang maju. Kita punya sumber daya alam yang begitu melimpah untuk diolah yang hampir tidak dimiliki oleh bangsa Barat. Namun kita juga punya kemalasan yang tidak dimiliki mereka. Indikasi kemalasan ini dapat dilihat pada pendapatan perkapita yang rendah dan tingkat korupsi di Indonesia. Etika Kerja Protestan yang tertuang dalam bentuk Kapitalisme menurut saya masih lebih baik dari ajaran Marx tentang sosialisme, yang merujuk pada persamaan hak, namun tidak melihat perlunya etos kerja yang baik. 


*tulisan ini dibuat untuk Tugas Filsafat Ilmu semester lalu, diilhami oleh buku Memandu Bangsa, Buku II, Samuel Tumanggor.

Sang Pendobrak


Percaya diri. Kata yang terlintas di benak ketika selesai mendengarkan presentasi dari Bang Samuel Tumanggor, sewaktu mengikuti kelas menulis di Bandung. Percaya diri dalam pengertian sehari-hari adalah sikap yang ditunjukkan seseorang untuk menyatakan dirinya “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan orang lain. Percaya diri, diyakini menjadi faktor yang vital bagi kesuksesan seseorang. Percaya diri, sebuah keyakinan akan kemampuan diri. Percaya diri, menunjukkan kemartabatan seseorang. Percaya diri, sebuah sikap yang menunjukkan keaslian seseorang, baik kelemahan maupun kelebihannya. Percaya diri, sikap yang tidak memuja-muja kelebihan orang lain dan memandang sinis kelebihan diri sendiri. Dan saat ini, bangsa Indonesia mencari-cari percaya diri itu dalam pergaulannya dengan bangsa lain.


Dalam literatur zaman pergerakan, banyak tokoh/penulis yang berbicara mengenai kepercayaan diri. Mereka sadar dengan keadaan bangsa. Penjajahan selama ratusan tahun menghancurkan karakter itu dalam jiwa Indonesia. Rakyat yang bernaung di dalamnya tak mengenal kata itu. Setiap hari harus menunduk. Setiap hari harus merangkak. Setiap hari harus menghinakan diri. Setiap hari, dan terbiasa. Ironisnya, hal-hal itu tidak hanya dilakukan kepada bangsa penjajah tetapi juga kepada bangsa sendiri.


Para tokoh menulis. Kaum intelektual menulis. Pergerakan ditandai dengan tulisan. Surat kabar bermunculan. Terlihat titik cerah di ujung jalan. Sumpah pemuda dikumandangkan. Pergerakan diorganisir. Persatuan dihembuskan. Kesatuan digalakkan. Lalu merdeka.


Memasuki usia kemerdekaan ke-65 tahun, masih ada sisa penjajahan yang tersimpan. Kita belum lepas dari ketidakpercayaan diri Kehidupan sehari-hari memberi kita contoh nyata. Bersikap kebarat-barat atau ketimur-tengahan. Mengabdikan diri bagi kepentingan asing. Mencemooh hasil karya bangsa sendiri. Euforia karena teknologi asing merambah Indonesia, tanpa mau mencoba menciptakan teknologi yang lebih mutakhir. Sibuk melihat kelemahan bangsa sendiri dan terlalu megah dengan kelebihan bangsa lain. Berkiblat pada literatur asing. Dan banyak lagi.


Tidak terkecuali dalam bidang yang saya geluti. Teori-teori Hubungan Internasional dihasilkan oleh penulis dan cara berpikir barat. Sangat sulit sekali menemukan literatur bagus, yang ditulis oleh penulis Indonesia dengan cara berpikir Indonesia atau Asia. Ketidakpercayaan diri membuat hasil kebudayaan kita berusaha diklaim oleh negara lain. Batik, angklung, reog ponorogo, lagu rasa sayange, tempe, adalah contoh-contohnya. Dalam konferensi-konferensi internasional, kita cenderung berhati-hati dalam menyatakan pendapat agar tidak melukai perasaan negara-negara kaya. Berharap supaya bantuan terus didatangkan. Kita dikenal sebagai bangsa yang reaktif, tidak proaktif. Mengenai isu-isu internasional, jarang sekali kita mempelopori usulan penyelesaian. Lebih sering ikut-ikutan dan menyatakan ”Setuju!” dengan usulan negara lain. Para diplomat yang payah, mentereng dalam berpenampilan namun jeblok dalam berdiplomasi.


Ya, kita masih terjajah. Namun, tidak terlihat dengan kasat mata. Tidak seperti kerja rodi pada jaman penjajahan. Kita terjajah oleh kemewahan. Kemewahan yang instan. Semua orang ingin cepat kaya. Ingin punya banyak duit. Melakukan apa saja asal bisa mendapatkan uang dan kekuasaan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah cara yang ampuh. Bahkan tak jarang kita menjual bangsa sendiri agar bisa mendapatkan bantuan dari bangsa lain. Sayangnya, bukan untuk rakyat. Perut penguasa malah semakin besar.


Pendidikan harus dibenahi. Kesehatan dijadikan prioritas. Etos kerja dibaharui. Dan percaya diri harus menjadi karakter bangsa. Belajar dari sejarah, ada satu hal yang menjadi pendobrak kebuntuan pergerakan nasional. Pendobrak kesadaran sebagai bangsa jajahan. Pendobrak keangkuhan kolonialisme. Menciptakan kesederajatan dengan negara lain. Menjadikan kemerdekan yang ditunggu-tunggu datang. Tulisan. Dialah sang pendobrak itu.



*menjelang fajar dalam kesendirian

10 Mar 2010

mata bui



aku pergi menatap asa,
bersama ribuan lain dengan sejumput doa.
kiranya Tuhan mendengar kami..

aku menatap,
dia lapar,
dengan mulut menganga mengharap sejumput nasi,
dan seteguk air pelepas dahaga.
dia sakit,
merasakan perih yang terus mendidih..
di gelap malam dia kedinginan
di tengah terik dia kepanasan..

aku pergi menatap asa,
bersama ribuan lain dengan sejumput doa.
kiranya Tuhan mendengar kami..

apa yang kucari??
penghormatan dari pribadi dengan gengsi yang terus meninggi?
atau pundi-pundi harta yang terus terisi??
oh ya, itu yang kucari..
aku bersorak, ya itu yang kucari..
kukejar dengan segenap asa dan energi..

aku melompat kegirangan,
tubuh tak seimbang,
ku terjatuh ke tanah tertopang tangan
beberapa cacing kenyang lewat dengan tenang
tak peduli denganku..
"kenapa aku harus peduli?"
"toh, tunggu giliran kau juga akan kulahap habis.
menyisakan gigi, tulang dan rambutmu yang tak kusuka"

aku menatap, masih menatap dan terus biasa..
ku terpenjara..


*di penghujung senja

6 Mar 2010

Tinggal Lalu


Pergi, dia jauh
terbang bersama angan yang tak kunjung hilang
Satu, dua, tiga,
aku lelah,
Teriak ini semakin parau
ditutup oleh kebisingan lebah
Menghisap madu untuk sang Ratu

Dia pergi, jauh
tangan tak menyentuh,
sapa tak berlabuh
Kicau pagi burung pipit membangunkan
Sinar hangat mentari masuk lewat jendela retak
tapi sinar itu hangat,

Aku bangkit
Mengalahkan sendi hati yang mengilu
Satu, dua, tiga,
Retak itu takkan berlalu
Biarkan kakiku melangkah.

*untuk yang jauh.

4 Mar 2010

Refleksi Ke-Indonesiaan


Pernah suatu kali saya dikejutkan oleh sebuah pernyataan mahasiswa Unpad bahwa selama hidupnya dia belum pernah bangga terhadap Indonesia. “Apa yang mau dibanggain? Urusan birokrasi yang sangat sulit? Korupsi yang merajalela di setiap bidang hidup di Indonesia? Atau, pandangan orang-orang luar bahwa orang Indonesia cuma bisa meniru?” tutur mahasiswa itu. Pernyataan itu terlontar dari mulutnya ketika kami berdiskusi tentang nasionalisme –paham yang mungkin bagi sebagian orang merupakan sebuah barang usang.


Melihat keadaan Indonesia yang sedang terpuruk saat ini, baik dari segi ekonomi, politik, pertahanan keamanan, sosial budaya, dan banyak segi lainnya, mungkin dia/mereka tidak bisa dibantah/disalahakan atau saya dibenarkan apabila membantah pendapat mereka, karena memang itulah yang sedang terjadi. Keterpurukan!


Belum lama ini kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-64. Umur yang sudah tua memang. Bagi orang tua mungkin umur ini adalah umur dimana mereka sudah bisa menikmati hari tua. Tidak memikirkan lagi kebutuhan hidup anak-anaknya. Anak-anak yang dididiknya itu mungkin sudah menjadi orang-orang besar. Tapi hal itu mungkin tidak berlaku bagi Ibu Pertiwi kita. Sampai saat ini dia masih menangis melihat kehidupan anak-anaknya.


Jujur saja, saya juga dulu pernah punya perasaan seperti mahasiswa di atas. Beberapa kali saya berpikir lebih baik jadi warga negara Singapura, yang katanya makmur itu, atau jadi warga negara Inggris, yang punya banyak daerah jajahan itu, atau jadi warga negara Amerika Serikat, yang katanya menguasai dunia dengan kekuatan militer dan ekonominya itu. Dan asal tidak menjadi orang Indonesia saja itu cukup! Parah nian.


Tapi itu dulu, saat ini saya sudah mulai bisa mengurangi rasa ketidaksukaan terhadap Indonesia menjadi rasa cinta terhadap Indonesia Dan itu punya proses yang tidak mudah. Beberapa kali saya harus bertarung dengan perasaan yang pernah saya simpan dulu. Faktornya adalah ketika saya melihat keadaan yang sekarang, saya masih ragu apakah ada untungnya saya mencintai Indonesia ini, apakah ini pekerjaaan yang sia-sia dan menghabiskan waktu saja, dan banyak pertanyaan lain yang memojokkan Indonesia beriringan masuk ke dalam hati saya. Dan proses untuk menghalau dan mengacaukan iringan itu benar-benar tidak mudah!


Kalau saya bilang bahwa rasa cinta terhadap Indonesia datang tiba-tiba seperti pencuri, atau ada cahaya yang masuk ke dalam diri saya, atau mungkin ada bisikan-bisikan gaib yang membukakan pikiran saya dan mengubah pola pikir saya, pastinya banyak orang yang tidak percaya, dan memang bukan begitu pula saya mendapatkan rasa cinta ini.


Saya akan ceritakan. Rasa cinta ini muncul ketika saya mulai sering bertemu dengan orang-orang yang berbicara tentang hidup yang mencintai Indonesia. Ketika saya membaca buku-buku yang menceritakan tentang rasa bangga terhadap Indonesia. Ketika saya melihat ketertinggalan saudara-saudara saya di belahan timur Indonesia. Ketika saya melihat penderitaan saudara-saudara saya karena ulah sebangsanya sendiri, dan lebih dari itu pengalaman-pengalaman keseharian saya dengan Indonesia, termasuk ketika saya menuliskan artikel ini.


Hampir sama ketika kita tertarik dengan lawan jenis kita. Rasa tertarik itu muncul setelah kita sering bertemu dan bergaul dengannya. Mungkin menghabiskan beberapa waktu untuk memikirkanya. Dan itu tidak berhenti sampai disini. Akibat dari rasa itu kita akan mulai mencari tahu tentang si dia, mulai perhatian terhadap apa yang sedang terjadi dengannya, dan mulai berfikir apa yang bisa saya beri untuknya, minimal supaya dia menyadari bahwa ada seseorang yang sedang tertarik dengannya.


Dan itulah yang terjadi. Ketika saya mulai tertarik dengan Indonesia, saya mulai mencari tahu tentang Indonesia, mulai perhatian terhadap apa yang terjadi dengan Indonesia dan mulai berpikir apa yang bisa saya berikan untuk Indonesia. Ini membuahkan hasil. Beberapa kali saya kemudian berbagi tentang rasa cinta ini terhadap orang-orang di sekitar saya.


Sebentar lagi kita akan memperingati Sumpah Pemuda. Ikrar yang pernah diucapkan anak-anak muda Indonesia untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu. Di tengah penjajahan yang mereka hadapi, mereka berani bersatu untuk menyatakan ”rasa cinta” mereka kepada Indonesia. Indah benar ikrar yang meraka pekikkan itu. Apa yang terjadi dengan kita? Bagaimana dengan mahasiswa yang katanya kaum intelek muda itu?


Apakah tidak akan dijumpai lagi sepuluh pemuda yang bisa diajak Soekarno untuk membangun bangsa ini?


Sudah saatnya kita membawa Indonesia beranjak dari tempat terhinakan ini. Korupsi, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang buruk, pengabaian budaya, dan rasa enggan untuk berpikir sedikit saja tentang Indonesia harus kita kikis perlahan. Dengan setiap sumber daya alam yang ada di Indonesia, dengan setiap nilai luhur yang diberikan nenek moyang kepada kita, dengan setiap potensi yang diberikan Sang Pencipta kepada saya dan anda, dan atas setiap tantangan serta hal buruk yang sedang terjadi di Indonesia, kita pasti tahu apa yang harus kita lakukan.


Hari ini kita akan masih melihat orang-orang yang memandang sinis kepada Indonesia. Memandang jijik terhadap pola tingkah masyarakat Indonesia. Merasa malu ketika disebut sebagai orang Indonesia. Dan lebih sering kebarat-baratan ketika sedang bergaul dengan orang disekitarnya. Ah, sudahlah dengan semua itu!


*Tulisan ini pernah dimuat di Lembaran POLAR edisi Mahasiswa Baru 2009