22 Nov 2010
Menulis: Sebuah Beban Sejarah
Media dan Korupsi
14 Apr 2010
Etika Kerja Protestan, Kapitalisme, dan Korupsi
*tulisan ini dibuat untuk Tugas Filsafat Ilmu semester lalu, diilhami oleh buku Memandu Bangsa, Buku II, Samuel Tumanggor.
Sang Pendobrak
Percaya diri. Kata yang terlintas di benak ketika selesai mendengarkan presentasi dari Bang Samuel Tumanggor, sewaktu mengikuti kelas menulis di Bandung. Percaya diri dalam pengertian sehari-hari adalah sikap yang ditunjukkan seseorang untuk menyatakan dirinya “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan orang lain. Percaya diri, diyakini menjadi faktor yang vital bagi kesuksesan seseorang. Percaya diri, sebuah keyakinan akan kemampuan diri. Percaya diri, menunjukkan kemartabatan seseorang. Percaya diri, sebuah sikap yang menunjukkan keaslian seseorang, baik kelemahan maupun kelebihannya. Percaya diri, sikap yang tidak memuja-muja kelebihan orang lain dan memandang sinis kelebihan diri sendiri. Dan saat ini, bangsa Indonesia mencari-cari percaya diri itu dalam pergaulannya dengan bangsa lain.
Dalam literatur zaman pergerakan, banyak tokoh/penulis yang berbicara mengenai kepercayaan diri. Mereka sadar dengan keadaan bangsa. Penjajahan selama ratusan tahun menghancurkan karakter itu dalam jiwa Indonesia. Rakyat yang bernaung di dalamnya tak mengenal kata itu. Setiap hari harus menunduk. Setiap hari harus merangkak. Setiap hari harus menghinakan diri. Setiap hari, dan terbiasa. Ironisnya, hal-hal itu tidak hanya dilakukan kepada bangsa penjajah tetapi juga kepada bangsa sendiri.
Para tokoh menulis. Kaum intelektual menulis. Pergerakan ditandai dengan tulisan. Surat kabar bermunculan. Terlihat titik cerah di ujung jalan. Sumpah pemuda dikumandangkan. Pergerakan diorganisir. Persatuan dihembuskan. Kesatuan digalakkan. Lalu merdeka.
Memasuki usia kemerdekaan ke-65 tahun, masih ada sisa penjajahan yang tersimpan. Kita belum lepas dari ketidakpercayaan diri Kehidupan sehari-hari memberi kita contoh nyata. Bersikap kebarat-barat atau ketimur-tengahan. Mengabdikan diri bagi kepentingan asing. Mencemooh hasil karya bangsa sendiri. Euforia karena teknologi asing merambah Indonesia, tanpa mau mencoba menciptakan teknologi yang lebih mutakhir. Sibuk melihat kelemahan bangsa sendiri dan terlalu megah dengan kelebihan bangsa lain. Berkiblat pada literatur asing. Dan banyak lagi.
Tidak terkecuali dalam bidang yang saya geluti. Teori-teori Hubungan Internasional dihasilkan oleh penulis dan cara berpikir barat. Sangat sulit sekali menemukan literatur bagus, yang ditulis oleh penulis Indonesia dengan cara berpikir Indonesia atau Asia. Ketidakpercayaan diri membuat hasil kebudayaan kita berusaha diklaim oleh negara lain. Batik, angklung, reog ponorogo, lagu rasa sayange, tempe, adalah contoh-contohnya. Dalam konferensi-konferensi internasional, kita cenderung berhati-hati dalam menyatakan pendapat agar tidak melukai perasaan negara-negara kaya. Berharap supaya bantuan terus didatangkan. Kita dikenal sebagai bangsa yang reaktif, tidak proaktif. Mengenai isu-isu internasional, jarang sekali kita mempelopori usulan penyelesaian. Lebih sering ikut-ikutan dan menyatakan ”Setuju!” dengan usulan negara lain. Para diplomat yang payah, mentereng dalam berpenampilan namun jeblok dalam berdiplomasi.
Ya, kita masih terjajah. Namun, tidak terlihat dengan kasat mata. Tidak seperti kerja rodi pada jaman penjajahan. Kita terjajah oleh kemewahan. Kemewahan yang instan. Semua orang ingin cepat kaya. Ingin punya banyak duit. Melakukan apa saja asal bisa mendapatkan uang dan kekuasaan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah cara yang ampuh. Bahkan tak jarang kita menjual bangsa sendiri agar bisa mendapatkan bantuan dari bangsa lain. Sayangnya, bukan untuk rakyat. Perut penguasa malah semakin besar.
Pendidikan harus dibenahi. Kesehatan dijadikan prioritas. Etos kerja dibaharui. Dan percaya diri harus menjadi karakter bangsa. Belajar dari sejarah, ada satu hal yang menjadi pendobrak kebuntuan pergerakan nasional. Pendobrak kesadaran sebagai bangsa jajahan. Pendobrak keangkuhan kolonialisme. Menciptakan kesederajatan dengan negara lain. Menjadikan kemerdekan yang ditunggu-tunggu datang. Tulisan. Dialah sang pendobrak itu.
*menjelang fajar dalam kesendirian
10 Mar 2010
mata bui
aku pergi menatap asa,
bersama ribuan lain dengan sejumput doa.
kiranya Tuhan mendengar kami..
aku menatap,
dia lapar,
dengan mulut menganga mengharap sejumput nasi,
dan seteguk air pelepas dahaga.
dia sakit,
merasakan perih yang terus mendidih..
di gelap malam dia kedinginan
di tengah terik dia kepanasan..
aku pergi menatap asa,
bersama ribuan lain dengan sejumput doa.
kiranya Tuhan mendengar kami..
apa yang kucari??
penghormatan dari pribadi dengan gengsi yang terus meninggi?
atau pundi-pundi harta yang terus terisi??
oh ya, itu yang kucari..
aku bersorak, ya itu yang kucari..
kukejar dengan segenap asa dan energi..
aku melompat kegirangan,
tubuh tak seimbang,
ku terjatuh ke tanah tertopang tangan
beberapa cacing kenyang lewat dengan tenang
tak peduli denganku..
"kenapa aku harus peduli?"
"toh, tunggu giliran kau juga akan kulahap habis.
menyisakan gigi, tulang dan rambutmu yang tak kusuka"
aku menatap, masih menatap dan terus biasa..
ku terpenjara..
*di penghujung senja
6 Mar 2010
Tinggal Lalu
terbang bersama angan yang tak kunjung hilang
Satu, dua, tiga,
aku lelah,
Teriak ini semakin parau
ditutup oleh kebisingan lebah
Menghisap madu untuk sang Ratu
Dia pergi, jauh
tangan tak menyentuh,
sapa tak berlabuh
Kicau pagi burung pipit membangunkan
Sinar hangat mentari masuk lewat jendela retak
tapi sinar itu hangat,
Aku bangkit
Mengalahkan sendi hati yang mengilu
Satu, dua, tiga,
Retak itu takkan berlalu
Biarkan kakiku melangkah.
4 Mar 2010
Refleksi Ke-Indonesiaan
Pernah suatu kali saya dikejutkan oleh sebuah pernyataan mahasiswa Unpad bahwa selama hidupnya dia belum pernah bangga terhadap Indonesia. “Apa yang mau dibanggain? Urusan birokrasi yang sangat sulit? Korupsi yang merajalela di setiap bidang hidup di Indonesia? Atau, pandangan orang-orang luar bahwa orang Indonesia cuma bisa meniru?” tutur mahasiswa itu. Pernyataan itu terlontar dari mulutnya ketika kami berdiskusi tentang nasionalisme –paham yang mungkin bagi sebagian orang merupakan sebuah barang usang.
Melihat keadaan Indonesia yang sedang terpuruk saat ini, baik dari segi ekonomi, politik, pertahanan keamanan, sosial budaya, dan banyak segi lainnya, mungkin dia/mereka tidak bisa dibantah/disalahakan atau saya dibenarkan apabila membantah pendapat mereka, karena memang itulah yang sedang terjadi. Keterpurukan!
Belum lama ini kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-64. Umur yang sudah tua memang. Bagi orang tua mungkin umur ini adalah umur dimana mereka sudah bisa menikmati hari tua. Tidak memikirkan lagi kebutuhan hidup anak-anaknya. Anak-anak yang dididiknya itu mungkin sudah menjadi orang-orang besar. Tapi hal itu mungkin tidak berlaku bagi Ibu Pertiwi kita. Sampai saat ini dia masih menangis melihat kehidupan anak-anaknya.
Jujur saja, saya juga dulu pernah punya perasaan seperti mahasiswa di atas. Beberapa kali saya berpikir lebih baik jadi warga negara Singapura, yang katanya makmur itu, atau jadi warga negara Inggris, yang punya banyak daerah jajahan itu, atau jadi warga negara Amerika Serikat, yang katanya menguasai dunia dengan kekuatan militer dan ekonominya itu. Dan asal tidak menjadi orang Indonesia saja itu cukup! Parah nian.
Tapi itu dulu, saat ini saya sudah mulai bisa mengurangi rasa ketidaksukaan terhadap Indonesia menjadi rasa cinta terhadap Indonesia Dan itu punya proses yang tidak mudah. Beberapa kali saya harus bertarung dengan perasaan yang pernah saya simpan dulu. Faktornya adalah ketika saya melihat keadaan yang sekarang, saya masih ragu apakah ada untungnya saya mencintai Indonesia ini, apakah ini pekerjaaan yang sia-sia dan menghabiskan waktu saja, dan banyak pertanyaan lain yang memojokkan Indonesia beriringan masuk ke dalam hati saya. Dan proses untuk menghalau dan mengacaukan iringan itu benar-benar tidak mudah!
Kalau saya bilang bahwa rasa cinta terhadap Indonesia datang tiba-tiba seperti pencuri, atau ada cahaya yang masuk ke dalam diri saya, atau mungkin ada bisikan-bisikan gaib yang membukakan pikiran saya dan mengubah pola pikir saya, pastinya banyak orang yang tidak percaya, dan memang bukan begitu pula saya mendapatkan rasa cinta ini.
Saya akan ceritakan. Rasa cinta ini muncul ketika saya mulai sering bertemu dengan orang-orang yang berbicara tentang hidup yang mencintai Indonesia. Ketika saya membaca buku-buku yang menceritakan tentang rasa bangga terhadap Indonesia. Ketika saya melihat ketertinggalan saudara-saudara saya di belahan timur Indonesia. Ketika saya melihat penderitaan saudara-saudara saya karena ulah sebangsanya sendiri, dan lebih dari itu pengalaman-pengalaman keseharian saya dengan Indonesia, termasuk ketika saya menuliskan artikel ini.
Hampir sama ketika kita tertarik dengan lawan jenis kita. Rasa tertarik itu muncul setelah kita sering bertemu dan bergaul dengannya. Mungkin menghabiskan beberapa waktu untuk memikirkanya. Dan itu tidak berhenti sampai disini. Akibat dari rasa itu kita akan mulai mencari tahu tentang si dia, mulai perhatian terhadap apa yang sedang terjadi dengannya, dan mulai berfikir apa yang bisa saya beri untuknya, minimal supaya dia menyadari bahwa ada seseorang yang sedang tertarik dengannya.
Dan itulah yang terjadi. Ketika saya mulai tertarik dengan Indonesia, saya mulai mencari tahu tentang Indonesia, mulai perhatian terhadap apa yang terjadi dengan Indonesia dan mulai berpikir apa yang bisa saya berikan untuk Indonesia. Ini membuahkan hasil. Beberapa kali saya kemudian berbagi tentang rasa cinta ini terhadap orang-orang di sekitar saya.
Sebentar lagi kita akan memperingati Sumpah Pemuda. Ikrar yang pernah diucapkan anak-anak muda Indonesia untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu. Di tengah penjajahan yang mereka hadapi, mereka berani bersatu untuk menyatakan ”rasa cinta” mereka kepada Indonesia. Indah benar ikrar yang meraka pekikkan itu. Apa yang terjadi dengan kita? Bagaimana dengan mahasiswa yang katanya kaum intelek muda itu?
Apakah tidak akan dijumpai lagi sepuluh pemuda yang bisa diajak Soekarno untuk membangun bangsa ini?
Sudah saatnya kita membawa Indonesia beranjak dari tempat terhinakan ini. Korupsi, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang buruk, pengabaian budaya, dan rasa enggan untuk berpikir sedikit saja tentang Indonesia harus kita kikis perlahan. Dengan setiap sumber daya alam yang ada di Indonesia, dengan setiap nilai luhur yang diberikan nenek moyang kepada kita, dengan setiap potensi yang diberikan Sang Pencipta kepada saya dan anda, dan atas setiap tantangan serta hal buruk yang sedang terjadi di Indonesia, kita pasti tahu apa yang harus kita lakukan.
Hari ini kita akan masih melihat orang-orang yang memandang sinis kepada Indonesia. Memandang jijik terhadap pola tingkah masyarakat Indonesia. Merasa malu ketika disebut sebagai orang Indonesia. Dan lebih sering kebarat-baratan ketika sedang bergaul dengan orang disekitarnya. Ah, sudahlah dengan semua itu!