Percaya diri. Kata yang terlintas di benak ketika selesai mendengarkan presentasi dari Bang Samuel Tumanggor, sewaktu mengikuti kelas menulis di Bandung. Percaya diri dalam pengertian sehari-hari adalah sikap yang ditunjukkan seseorang untuk menyatakan dirinya “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan orang lain. Percaya diri, diyakini menjadi faktor yang vital bagi kesuksesan seseorang. Percaya diri, sebuah keyakinan akan kemampuan diri. Percaya diri, menunjukkan kemartabatan seseorang. Percaya diri, sebuah sikap yang menunjukkan keaslian seseorang, baik kelemahan maupun kelebihannya. Percaya diri, sikap yang tidak memuja-muja kelebihan orang lain dan memandang sinis kelebihan diri sendiri. Dan saat ini, bangsa Indonesia mencari-cari percaya diri itu dalam pergaulannya dengan bangsa lain.
Dalam literatur zaman pergerakan, banyak tokoh/penulis yang berbicara mengenai kepercayaan diri. Mereka sadar dengan keadaan bangsa. Penjajahan selama ratusan tahun menghancurkan karakter itu dalam jiwa Indonesia. Rakyat yang bernaung di dalamnya tak mengenal kata itu. Setiap hari harus menunduk. Setiap hari harus merangkak. Setiap hari harus menghinakan diri. Setiap hari, dan terbiasa. Ironisnya, hal-hal itu tidak hanya dilakukan kepada bangsa penjajah tetapi juga kepada bangsa sendiri.
Para tokoh menulis. Kaum intelektual menulis. Pergerakan ditandai dengan tulisan. Surat kabar bermunculan. Terlihat titik cerah di ujung jalan. Sumpah pemuda dikumandangkan. Pergerakan diorganisir. Persatuan dihembuskan. Kesatuan digalakkan. Lalu merdeka.
Memasuki usia kemerdekaan ke-65 tahun, masih ada sisa penjajahan yang tersimpan. Kita belum lepas dari ketidakpercayaan diri Kehidupan sehari-hari memberi kita contoh nyata. Bersikap kebarat-barat atau ketimur-tengahan. Mengabdikan diri bagi kepentingan asing. Mencemooh hasil karya bangsa sendiri. Euforia karena teknologi asing merambah Indonesia, tanpa mau mencoba menciptakan teknologi yang lebih mutakhir. Sibuk melihat kelemahan bangsa sendiri dan terlalu megah dengan kelebihan bangsa lain. Berkiblat pada literatur asing. Dan banyak lagi.
Tidak terkecuali dalam bidang yang saya geluti. Teori-teori Hubungan Internasional dihasilkan oleh penulis dan cara berpikir barat. Sangat sulit sekali menemukan literatur bagus, yang ditulis oleh penulis Indonesia dengan cara berpikir Indonesia atau Asia. Ketidakpercayaan diri membuat hasil kebudayaan kita berusaha diklaim oleh negara lain. Batik, angklung, reog ponorogo, lagu rasa sayange, tempe, adalah contoh-contohnya. Dalam konferensi-konferensi internasional, kita cenderung berhati-hati dalam menyatakan pendapat agar tidak melukai perasaan negara-negara kaya. Berharap supaya bantuan terus didatangkan. Kita dikenal sebagai bangsa yang reaktif, tidak proaktif. Mengenai isu-isu internasional, jarang sekali kita mempelopori usulan penyelesaian. Lebih sering ikut-ikutan dan menyatakan ”Setuju!” dengan usulan negara lain. Para diplomat yang payah, mentereng dalam berpenampilan namun jeblok dalam berdiplomasi.
Ya, kita masih terjajah. Namun, tidak terlihat dengan kasat mata. Tidak seperti kerja rodi pada jaman penjajahan. Kita terjajah oleh kemewahan. Kemewahan yang instan. Semua orang ingin cepat kaya. Ingin punya banyak duit. Melakukan apa saja asal bisa mendapatkan uang dan kekuasaan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah cara yang ampuh. Bahkan tak jarang kita menjual bangsa sendiri agar bisa mendapatkan bantuan dari bangsa lain. Sayangnya, bukan untuk rakyat. Perut penguasa malah semakin besar.
Pendidikan harus dibenahi. Kesehatan dijadikan prioritas. Etos kerja dibaharui. Dan percaya diri harus menjadi karakter bangsa. Belajar dari sejarah, ada satu hal yang menjadi pendobrak kebuntuan pergerakan nasional. Pendobrak kesadaran sebagai bangsa jajahan. Pendobrak keangkuhan kolonialisme. Menciptakan kesederajatan dengan negara lain. Menjadikan kemerdekan yang ditunggu-tunggu datang. Tulisan. Dialah sang pendobrak itu.
*menjelang fajar dalam kesendirian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar