Pernah suatu kali saya dikejutkan oleh sebuah pernyataan mahasiswa Unpad bahwa selama hidupnya dia belum pernah bangga terhadap Indonesia. “Apa yang mau dibanggain? Urusan birokrasi yang sangat sulit? Korupsi yang merajalela di setiap bidang hidup di Indonesia? Atau, pandangan orang-orang luar bahwa orang Indonesia cuma bisa meniru?” tutur mahasiswa itu. Pernyataan itu terlontar dari mulutnya ketika kami berdiskusi tentang nasionalisme –paham yang mungkin bagi sebagian orang merupakan sebuah barang usang.
Melihat keadaan Indonesia yang sedang terpuruk saat ini, baik dari segi ekonomi, politik, pertahanan keamanan, sosial budaya, dan banyak segi lainnya, mungkin dia/mereka tidak bisa dibantah/disalahakan atau saya dibenarkan apabila membantah pendapat mereka, karena memang itulah yang sedang terjadi. Keterpurukan!
Belum lama ini kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-64. Umur yang sudah tua memang. Bagi orang tua mungkin umur ini adalah umur dimana mereka sudah bisa menikmati hari tua. Tidak memikirkan lagi kebutuhan hidup anak-anaknya. Anak-anak yang dididiknya itu mungkin sudah menjadi orang-orang besar. Tapi hal itu mungkin tidak berlaku bagi Ibu Pertiwi kita. Sampai saat ini dia masih menangis melihat kehidupan anak-anaknya.
Jujur saja, saya juga dulu pernah punya perasaan seperti mahasiswa di atas. Beberapa kali saya berpikir lebih baik jadi warga negara Singapura, yang katanya makmur itu, atau jadi warga negara Inggris, yang punya banyak daerah jajahan itu, atau jadi warga negara Amerika Serikat, yang katanya menguasai dunia dengan kekuatan militer dan ekonominya itu. Dan asal tidak menjadi orang Indonesia saja itu cukup! Parah nian.
Tapi itu dulu, saat ini saya sudah mulai bisa mengurangi rasa ketidaksukaan terhadap Indonesia menjadi rasa cinta terhadap Indonesia Dan itu punya proses yang tidak mudah. Beberapa kali saya harus bertarung dengan perasaan yang pernah saya simpan dulu. Faktornya adalah ketika saya melihat keadaan yang sekarang, saya masih ragu apakah ada untungnya saya mencintai Indonesia ini, apakah ini pekerjaaan yang sia-sia dan menghabiskan waktu saja, dan banyak pertanyaan lain yang memojokkan Indonesia beriringan masuk ke dalam hati saya. Dan proses untuk menghalau dan mengacaukan iringan itu benar-benar tidak mudah!
Kalau saya bilang bahwa rasa cinta terhadap Indonesia datang tiba-tiba seperti pencuri, atau ada cahaya yang masuk ke dalam diri saya, atau mungkin ada bisikan-bisikan gaib yang membukakan pikiran saya dan mengubah pola pikir saya, pastinya banyak orang yang tidak percaya, dan memang bukan begitu pula saya mendapatkan rasa cinta ini.
Saya akan ceritakan. Rasa cinta ini muncul ketika saya mulai sering bertemu dengan orang-orang yang berbicara tentang hidup yang mencintai Indonesia. Ketika saya membaca buku-buku yang menceritakan tentang rasa bangga terhadap Indonesia. Ketika saya melihat ketertinggalan saudara-saudara saya di belahan timur Indonesia. Ketika saya melihat penderitaan saudara-saudara saya karena ulah sebangsanya sendiri, dan lebih dari itu pengalaman-pengalaman keseharian saya dengan Indonesia, termasuk ketika saya menuliskan artikel ini.
Hampir sama ketika kita tertarik dengan lawan jenis kita. Rasa tertarik itu muncul setelah kita sering bertemu dan bergaul dengannya. Mungkin menghabiskan beberapa waktu untuk memikirkanya. Dan itu tidak berhenti sampai disini. Akibat dari rasa itu kita akan mulai mencari tahu tentang si dia, mulai perhatian terhadap apa yang sedang terjadi dengannya, dan mulai berfikir apa yang bisa saya beri untuknya, minimal supaya dia menyadari bahwa ada seseorang yang sedang tertarik dengannya.
Dan itulah yang terjadi. Ketika saya mulai tertarik dengan Indonesia, saya mulai mencari tahu tentang Indonesia, mulai perhatian terhadap apa yang terjadi dengan Indonesia dan mulai berpikir apa yang bisa saya berikan untuk Indonesia. Ini membuahkan hasil. Beberapa kali saya kemudian berbagi tentang rasa cinta ini terhadap orang-orang di sekitar saya.
Sebentar lagi kita akan memperingati Sumpah Pemuda. Ikrar yang pernah diucapkan anak-anak muda Indonesia untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu. Di tengah penjajahan yang mereka hadapi, mereka berani bersatu untuk menyatakan ”rasa cinta” mereka kepada Indonesia. Indah benar ikrar yang meraka pekikkan itu. Apa yang terjadi dengan kita? Bagaimana dengan mahasiswa yang katanya kaum intelek muda itu?
Apakah tidak akan dijumpai lagi sepuluh pemuda yang bisa diajak Soekarno untuk membangun bangsa ini?
Sudah saatnya kita membawa Indonesia beranjak dari tempat terhinakan ini. Korupsi, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang buruk, pengabaian budaya, dan rasa enggan untuk berpikir sedikit saja tentang Indonesia harus kita kikis perlahan. Dengan setiap sumber daya alam yang ada di Indonesia, dengan setiap nilai luhur yang diberikan nenek moyang kepada kita, dengan setiap potensi yang diberikan Sang Pencipta kepada saya dan anda, dan atas setiap tantangan serta hal buruk yang sedang terjadi di Indonesia, kita pasti tahu apa yang harus kita lakukan.
Hari ini kita akan masih melihat orang-orang yang memandang sinis kepada Indonesia. Memandang jijik terhadap pola tingkah masyarakat Indonesia. Merasa malu ketika disebut sebagai orang Indonesia. Dan lebih sering kebarat-baratan ketika sedang bergaul dengan orang disekitarnya. Ah, sudahlah dengan semua itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar