22 Nov 2010

Menulis: Sebuah Beban Sejarah


Seorang dosen di kampus pernah berkata, ”Bangsa China adalah bangsa yang besar, mereka dapat merunut sejarah bangsa mereka sampai lima ribu tahun ke belakang dengan dokumen-dokumen yang berbentuk tulisan.” Kemudian ditambahkan, ”Dengan itu mereka dapat berdiri tegak dan menunjukkan diri sebagai bangsa yang sudah beradab sejak dahulu kala.” Sampai saat ini bangsa China masih dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena sumber-sumber tulisan yang mereka miliki.
Lalu apa yang terjadi dengan Indonesia? Gubernur Jenderal Raffles pernah berkata bahwa tidak ada orang yang lebih mengerti tentang Jawa daripada dirinya. Ya, dia mengerti tentang Jawa karena dia memiliki dokumen-dokumen yang sangat lengkap tentang pulau ini—yang pada masa penjajahan menjadi pusat pemerintahan kolonial. Dokumen-dokumen asli bangsa kita, yang menjelaskan tentang keadaan bangsa ini, seluk beluk kehidupan masyarakat Indonesia masa dulu, kearifan-kearifan lokal masyarakat kita, sudah habis dibawa oleh penjajah ke tempat asalnya. Alhasil, kita ingin belajar tentang sejarah Indonesia yang lengkap kita harus mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Belanda.
Bung Karno pernah menyebutkan “Jas Merah” dengan lantang. Kata itu merupakan singkatan dari “JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH”. Kemudian timbul pertanyaan, Bagaimana caranya melupakan sejarah, bahkan mengenalnya pun tidak? Mungkin sangat sedikit bahan sejarah tentang Indonesia yang luas dan kompleks dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang enam jilid itu. Ya, masih kalah pastinya dengan sejarah China yang mereka bisa susun selama lima ribu tahun itu.
Kita tidak dapat memungkiri bagaimana besarnya pengaruh tulisan dalam kehidupan. Hampir semua pemberontakan-pemberontakan besar di dunia terjadi karena sang pemimpin mencekoki mereka dengan tulisan-tulisan, filsuf-filsuf besar dunia masih dikenal juga karena ada sumber tulisan dari buah pemikiran mereka, dan agama-agama besar di dunia masih bertahan sampai saat ini juga karena adanya sumber tulisan yang menjadi acuan berbakti bagi para pengikutnya.
Sudah seharusnya dan sepatutnya kita yang hidup di dan dari sumber daya—baik alam maupun manusia—Indonesia  menuliskan sejarah perjalanan bangsa ini. Menjadi tanggung jawab bagi generasi yang dahulu untuk menceritakan sejarah kepada generasi sekarang, generasi sekarang ke generasi yang akan datang, dan seterusnya. Ya, kita sendiri yang harus menuliskannya. Kita akan dapat membangun bangsa ini dengan mengetahui dan mengerti tentang bangsa ini. Generasi setelah kita memerlukan banyak data-data, dokumen-dokumen yang bisa menjadi pelajaran bagi mereka, dan itu harus datangnya dari tulisan-tulisan yang kita buat.

*Tulisan buat kelas menulis Bang Samuel Tumanggor..

Media dan Korupsi


Belum lama ini kita dihebohkan oleh pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik mengenai kasus Bank Century. Salah satu media nasional bahkan menjadikan kasus ini menjadi headline dalam majalah mingguannya selama sebulan. Apa yang sedang terjadi? Mengapa berita ini bisa heboh dan menjadi pembicaraan dimana-mana? Hampir semua perhatian masyarakat terpusat pada kasus ini. Dimulai dari terbongkarnya kasus percakapan Anggodo dan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan, kriminalisasi terhadap dua pimpinan anggota KPK, sampai yang terbaru dikeluarkannya buku Membongkar Gurita Cikeas oleh George J Aditjondro.

Peran Media
Korupsi memang sudah merajalela di Indonesia. Hampir semua lembaga pengakaji korupsi baik lokal maupun internasional memberikan hasil survei yang kurang mengenakan bagi Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia selalu ditempatkan di urutan 10 besar negara-negara terkorup. Namun, kalau kita jeli melihat, gembar-gembor terhadap isu korupsi ini mulai menguak dan terdengar keras setelah masa orde baru. Pemerintahan otoriter orde baru pada saat itu membuat media kehilangan fungsinya dalam meberikan informasi bagi masyarakat, padahal kalau kita perhatikan korupsi pada masa orde baru begitu hebatnya namun hanya terdengar sayup-sayup di masyarakat.
Media mengambil peran yang sangat besar dalam hal ini. Media menjadi corong dalam menggiring dan membentuk opini publik. Kebebasan yang sudah dirasakan media saat ini memberikan mereka kekuatan untuk memberitakan secara lengkap, jujur, adil dan akurat mengenai korupsi di Indonesia. Ketakutan akan dilakukan pembredelan oleh pemerintah bukan menjadi ancaman lagi bagi media dalam melakukan pemberitaan korupsi.
Dalam memerangi korupsi, sekurang-kurangnya media mempunyai 4 fungsi yang harus dijalankan. Fungsi-fungsi tersebut adalah penyampaikan dan penyebaran informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan penetapan agenda (agenda setting).
Pertama, media mempunyai fungsi untuk menyampaikan dan menyebarkan informasi. Fungsi ini mengharuskan media memberikan informasi yang akurat dan jujur kepada masyarakat. Kita melihat kenapa pada masa orde baru tidak genjar dilakukan pemberantasan korupsi, karena saat itu media tidak memberitakan informasi yang akurat dan jujur kepada masyarakat. Salah satu informasi yang jarang didapat masyarakat yang bisa menjadi corong korupsi adalah mengenai anggaran. Ketidaktahuan masyarakat mengenai anggaran bisa menjadi celah bagi pihak yang terkait malakukan korupsi.
Kedua, fungsi pendidikan. Lebih dari memberikan informasi, media mempunyai fungsi pendidikan. ”Journalistic media are more than purveyors of news and comments; they are agencies having policies of their own, responsibilities of far reaching importance, and worthy missions of great significance” (George F Mott, 1958). Dalam hal ini media dapat menjadi pilar dalam memberikan pendidikan anti korupsi kepada masyarakat. Sosialisasi terhadap bentuk-bentuk korupsi, pencegahannya, dan apa akibat dari melakukan korupsi perlu diberitahukan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak hanya tahu bahwa sudah terjadi korupsi, namun mereka dapat mengetahui bagaimana cara mencegahnya dan apa akibat yang terjadi apabila mereka melakukan korupsi.
Ketiga, media mempunyai fungsi kontrol sosial. Media sering dikatakan sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Setelah adanya eksekutif, legislatif, dan yudikatif, perlu ada unsur keempat yaitu media/pers. Media menjadi kontrol bagi ketiga institusi ini. Banyaknya kasus yang menyeret pejabat publik, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak terlepas dari pemberitaan media yang mengekspos kasus tersebut. Dari pengeksposan kasus tersebut, juga diharapkan muncul efek jera bagi para pejabat yang melakukan korupsi. Penyebutan nama dan penampangan foto oleh media dapat membuat efek malu pada pelaku korupsi.
Keempat, fungsi agenda setting. Korupsi tidak akan dapat menyeruak keluar jika tidak dberitakan, oleh karena itu media dapat berfungsi untuk membuat sebuah agenda setting dalam pemberitaan korupsi. Isu-isu korupsi menjadi prioritas utama media dalam pemberitaannya. Hal ini memberikan dampak bagi masyarakat bahwa isu korupsi adalah sebuah berita yang penting.

Media Kampus
Kasus korupsi juga menyentuh dunia pendidikan, tidak terkecuali kampus. Kita masih ingat kasus korupsi yang dilakukan oleh petinggi kampus ini tahun 1998, yang menyeret sang rektor ke meja pengadilan. Penguakan kasus tersebut tidak terlepas dari peran media kampus saat itu yang merespon situasi yang terjadi dan kemudian melakukan pelaporan investigasi (investigation reporting).
Seringkali media nasional tidak dapat menjangkau isu-isu yang ada di sekitaran kampus, oleh karena itu media kampus memiliki peranan yang besar dalam memberitakan dan mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilakukan kampus. Walaupun secara nominal mungkin tidak lebih besar dari yang dilakukan pejabat, seperti pungutan-pungutan yang tidak punya landasan hukum, namun seperti pepatah yang mengatakan sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Hujan yang besar juga tercipta dari titik-titik uap air, oleh karena itu kalau tidak dicegah dari sekarang budaya korupsi akan terus merajalela di kampus dan merambat sampai keluar kampus.
Saat ini juga kampus kita sedang giat-giatnya melakukan pembangunan. Banyak fasilitas dengan dana besar sedang dibangun. Dan apabila kita tidak melakukan kontrol, bukan tidak mungkin korupsi akan mengintip dan memangsa moral para pemimpin kita. 

*Tulisan ini mendapat juara ke 3 dalam lomba esai FISIP Fair UNPAD dalam rangka memperingati 12 tahun reformasi Indonesia dan dimuat di Majalah FISIPers